Kamis, 14 Juli 2011





POLITIK HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TAPANULI SELATAN 
(UMTS) PADANGSIDIMPUAN
T. A. 2010/2011


 POLITIK HUKUM

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
                                          NAMA                     :  ABDULLAH
                                          NPM                        :   080210.0001
                                          SEMESTER            :  VI (ENAM)
                                          JURUSAN               :  ILMU ADM. NEGARA
                                          FAKULTAS            :  FISIPOL


POLITIK HUKUM
Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka persoalan yang diangkat dalam tulisan ini adalah tentang Politik Hukum di Indonesia, yaitu bagaimana konfigurasi politik dan karakter produk hukum (dalam hal ini hukum tentang Pemilu, Pemda dan Agraria), dalam periodesasi sebagai berikut:
1.      Periode Demokrasi Liberal (1945-1959)
2.      Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
3.      Periode Orde Baru (1966-1998).
Kajian terhadap permasalahan tersebut di atas penulis lakukan dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum
Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum dalam Konteks Negara Hukum
1.      Periode Demokrasi Liberal (1945-1959)
Ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 gagasan demokrasi dalam kehidupan politik mendapatkan tempat yang sangat menonjol. BPUPKI dan PPKI dapat dikatakan tidak memperdebatkan dengan berpanjang-panjang untuk bersepakat memilih demokrasi dalam kehidupan bernegara yang kemudian dituangkan dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945.
Pemikiran Aristoteles ini jelas sekali merupakan cita negara hukum yang dikenal sekarang, karena  hak-hak rakyat untuk turut serta dalam proses pembuatan keputusan dengan jalan memilih wakil-wakilnya secara bebas, serta tingkat stabilitas politik sebagai syarat bagi aktivitas kekuasaan untuk mencapai tujuan negara.
Indonesia sebagai negara hokum senantiasa harus memperhatikan hak-hak asasi manusia, karena ciri pertama dari suatu negara hokum itu adalah adanya jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia. Kemudian hak-hak tersebut dikombinasikan dengan keberadaan politik dalam penyelenggaraan kenegaraan, apabila kedua hal ini dapat dilaksanakan maka kebenaran dan keadilan berdasarkan hokum akan dapat ditegakkan.
Dari sini terlihat bahwa Indonesia sebagai negara hokum, namun dalam masa periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1959 belum mampu memperlihatkan konsistensinya dalam menerapkan konstitusi ketatanegaraan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Sehingga dalam prakteknya sering terjadi kesalahan dalam menafsirkan ketentuan konstitusi yang telah disepakati bersama, dan pada akhirnya tujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat belum dapat diwujudkan.
Selanjutnya apabila dilihat karakter produk hokum yang dihasilkan pada periode demokrasi liberal (1945-1959), bersifat responsive/populistik. Sebagaimana halnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 yang mengatur tentang pemilihan Umum. Undang-undang tersebut dapat mengatur secara rinci sistem Pemilu dan pokok-pokok prosesnya, sehingga tidak memberi ruang yang terlalu luas kepada eksekutif untuk menafsirkan sendiri dengan peraturan perundang-undangan delegatif.
Sesuai dengan konfigurasi politik yang demokratis pada periode ini, maka produk hukum tentang pemerintahan daerah juga menunjukkan karakter yang responsif, yang memperhatikan aspirasi dan kemauan masyarakat. Adanya kombinasi yang seimbang antara politik dan hukum tersebut menggambarkan bahwa roda kenegaraan yang dijalankan sesuai dengan kaedah yang berlaku dalam suatu negara hukum.
Meskipun belum ada hukum agraria nasional yang komprehensif, tetapi dari produk-produknya yang parsial itu dapat dilihat bahwa hokum agraria pada periode demokrasi liberal berkarakter sangat responsif. Hal ini dapat dilihat dari respon pemerintah pada aspirasi seluruh masyarakat Indonesia yang menuntut secara keras dibentuknya UU Agraria Nasional. Dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam merespon kehendak masyarakat tersebut, merupakan tindakan yang sesuai dengan bingkai negara hukum yang senantiasa memperhatikan suara-suara rakyat, hak-hak rakyat serta perlindungan hokum terhadap rakyat sesuai dengan asas demokrasi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka berakhirlah langgam system politik liberal dan digantikan oleh system demokrasi yang menurut Soekarno lebih berwarna Indonesia, yakni demokrasi terpimpin, yang seklaigus melahirkan konfigurasi politik baru yang lebih bersifat otoriter. Konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin ditandai oleh tarik tambang antara tiga kekuatan politik utama, yaitu Soekarno, Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan di antara ketiganya sekaligus saling memanfaatkan. Soekarno memerlukan PKI untuk menghadapi kekuatan Angkatan Darat yang gigih menyainginya, PKI memerlukan Soekarno untuk mendapatkan perlindungan dari presiden dalam melawan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik.
Di sini terlihat bahwa konfigurasi politik yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sangat tidak sesuai dengan bingkai negara hokum, yang senantiasa memberikan perlindungan kepada masyarakat secara keseluruhan, malahan dilaksanakan sebaliknya, bahwa roda kenegaraan dijalankan untuk melindungi kepentingan individu atau kelompok tertentu. Banyak kritikan ditujukan pada Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, sebagaimana Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa posisi Soekarno di dalam sistem demokrasi terpimpin itu hanya berbeda sedikit dengan raja-raja absolut di masa lampau, yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan di bumi, yang ditangannya terletak kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sekaligus.
Hal ini jelas bertentangan dengan konsep negara hukum Indonesia menurut UUD 1945, bahwa kekuasaan Kepala Negara harus terbatas dan bukan tak terbatas. Artinya Kepala Negara bukan dictator, ia dalam melaksanakan roda pemerintahan harus berpedoman kepada ketentuan hukum yang berlaku dan harus sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati bersama.
Tindakan presiden pada masa demokrasi terpimpin itu juga bertentangan dengan unsur-unsur negara hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Frederik Julius Stahl yaitu:
                        1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia.
                        2. Adanya pembagian kekuasaan.
                        3. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum.
                        4. Adanya peradilan administrasi (Hasan Zaini, 1991: 154).

Kekuasaan presiden yang tidak terbatas pada periode demokrasi terpimpin sudah jelas bertentangan dengan unsur-unsur negara hukum sebagaimana yang ditentukan di atas. Proses demokrasi yang berlaku pada masa ini bukan demokrasi dalam arti ikut sertanya rakyat dalam proses pembuatan keputusan, akan tetapi politisasi, dimana partispasi rakyat terbatas pada pelaksanaan atas keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh penguasa.
Jelas bahwa demokrasi terpimpin benar-benar telah melanggar konsep negara hukum, pada masa ini tidak ada perlindungan terhadap hak asasi manusia, kekuasaan hanya dipegang oleh satu orang yaitu presiden. Presiden mengontrol semua spectrum politik nasional untuk mendukung gagasan-gagasan politiknya dengan menggunakan Dewan Pertimbangan Agung yang dipimpin langsung oleh Soekarno. Dari sini jelas terlihat bahwa konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin adalah otoriter, sentralistik dan terpusat di tangan Presiden Soekarno.
Selanjutnya krisis politik terjadi yang disusul oleh terjadinya G30S/PKI, membawa Soekarno untuk mengeluarkan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada tahun 1966 yang berisi pelimpahan kekuasaan kepada
Soeharto, untuk mengambil segala tindakan yang berhubungan dengan keamanan dan stabilitas pemerintahan, serta pemerintahan selanjutnya diambil alih oleh Soeharto menggantikan Soekarno pada Tahun 1967.
Adapun karakter produk hokum yang dihasilkan pada masa demokrasi terpimpin adalah berkarakter ortodoks/konservatif. Pada periode ini undang-undang tentang Pemilu tidak pernah dibuat, karena Pemilu belum pernah dilaksanakan. Sedangkan ketentuan mengenai pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959, yang memberi jalan bagi semakin ketatnya pengendalian pusat terhadap daerah. Kepala Daerah diangkat oleh pusat, tanpa harus terikat dengan calon-calon yang diajukan oleh DPRD.
Selanjutnya Penpres Nomor 6 Tahun 1959 digantikan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yangmana isinya juga hampir sama dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959. Sebab secara keseluruhan lebih memberikan posisi dominan kepada pusat untuk mengendalikan pemerintahan di daerah. Kontrol pusat terhadap daerah dilakukan melalui mekanisme kontrol yang ketat atas pembuatan peraturan-peraturan oleh daerah.
Terlihat bahwa Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, dalam proses pembuatannya sama sekali tidak partsipatif, yang menonjol di sini justru penuangan visi sosial dan politik presiden sehingga produk hukum lebih merupakan instrumen bagi upaya realisasi visi presiden. Jelas bahwa ketentuan hukum mengenai Pemerintahan Daerah tersebut bertentangan dengan kehendak rakyat dan sekaligus
 melanggar sendi-sendi dasar negara hokum, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan pemerintahan harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi yang berlaku.
Selanjutnya karakter produk hukum tentang agraria pada masa demokrasi liberal, yang mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960. UUPA merupakan produk hukum yang responsif, karena di dalamnya memiliki muatan hukum adat dan fungsi sosial atas tanah, tradisi hokum adat menganut strategi pembangunan hukum yang responsif, karena memperhatikan kondisi dan kehendak masyarakat.
UUPA yang dikualifikasikan sebagai produk hukum yang berkarakter responsive terasa menjadi agak aneh, sebab UUPA lahir justru pada saat konfigurasi politik tampil secara otoriter, yakni dalam era demokrasi terpimpin. Hal ini terbukti untuk dua jenis produk hokum di atas (Pemilu dan Pemda), yang berkarakter sangat konservatif atau ortodoks.
Ada empat alasan yang dapat menjelaskan fenomena UUPA yang responsif tersebut, yaitu:
                        1. Materi UUPA sebenarnya merupakan warisan periode sebelumnya yang bahan-bahannya telah dihimpun dan disusun oleh beberapa panitia yang dibentuk tahun 1948.
                        2. Materi-materi UUPA merupakan perlawanan terhadap peninggalan kolonialisme Belanda, sehingga pemberlakuannya lebih didasarkan pada semangat nasionalisme dan bukan pada rezim politik di Negara Indonesia Merdeka.